Langsung ke konten utama

di pasar tabing

aku membetulkan spion motor. aku dan mama akan pergi ke pasar tabing, pasar terdekat dari komplek perumahan kami. aku baru saja pulang les. dan bila saja aku tidak ingat beliau adalah ibuku dan beliau yang akan memasak untuk lauk berbuka puasa nanti, aku mungkin akan mengabaikan permintaannya untuk menemaninya ke pasar. cuaca sangat terik. cuaca kota ini benar-benar sangat tidak ramah. panasnya mampu menyulut kemarahan orang dan menguapkan sisa tenaga yang sebagian besar disimpan muslim hingga berbuka puasa. setelah menghidupkan mesin motor kembali, kami pun melaju untuk membeli bahan-bahan pabukoan.

sesampainya di sana, aku memarkir motorku di dekat salah satu kios dan bergegas menyusul mama. tiba-tiba mama berhenti dan menunjukkan kakinya,"hee, liatlah sandal mama." sandal yang dimaksud adalah sandal swallow rumahan. aku mengerti, walaupun hanya ke pasar, mama paling tidak suka terlihat jelek. akhirnya aku menukar sandal yang aku pakai ketika kursus tadi dengan sandal jepit itu. lagipula itu memang milik mama..

baru saja masuk gang pasar, aroma berbagai sayuran dan musik minang yang diputar di kios kaset di sebelah kananku mulai menguasai panca inderaku. aku lumayan sering ke pasar ini. ini satu-satunya pasar yang aku suka di kota ini dari ketiga pasar yang pernah aku kunjungi. selain dekat dari rumah, pasar ini lebih bersih dan kering daripada 2 pasar lainnya. kakiku terus melangkah saat aku melihat ada seorang gadis (atau ibu-ibu?) yang sedang memeluk sesuatu seperti kayu yang dibungkus kain. mataku masih melihat ke arahnya saat kami mencapai kios-kios penjual ikan. kemudian mama sempat berhenti sejenak. bingung hendak kemana. akhirnya mama melangkahkan kaki ke arah kanannya ke arah penjual ikan lele.

"bara, buk? (berapa buk?)" tanya penjual yang langsung menanyakan pesanan mama.
"lele sakilo, yo (lele sekilo, ya)" jawab mama.
kemudian uda-uda ini mulai mengambil lele yang berada di dalam kotak kaca berisi air tidak lebih dari 15 cm menggunakan kotak plastik. sebelum kotak itu mencapai tubuh lele-lele itu, mereka sudah menggeliat dan berpindah tempat tidak nyaman karena tau ajalnya sebentar lagi. badan mereka yang licin tidak membuat mereka lolos dari kotak itu. setelah tertangkap, lele tersebut di pindahkan ke kotak kaca yang lebih kecil dan uda terebut mulai memilih lagi lele mana yang akan ditimbang. setelah cukup sekilo, satu persatu lele tersebut mulai menghadapi pembantaiannya. aku tidak suka. kepala mereka dipukul mengunakan pangkal pisau besar sehingga mereka berhenti bergerak. ujung moncong lele tersebut dipotong, dilanjutkan dengan kumisnya, lalu baru membelah perut dan mengeluarkan isinya. aku masih melihat badannya bergerak sebelum perut mereka dibelah. ketika aku pergi membeli ini bersama papaku, beliau juga mengutarakan rasa kasihannya terhadap lele-lele itu. tapi ya mau gimana lagi, kalau tidak dibunuh bagaimana kita bisa memakannya? karena memasak mereka hidup-hidup jauh lebih mengerikan daripada "mematikan" mereka terlebih dahulu. setelah membayarnya dengan uang lima puluh ribu dan menerima kembalian kurang lebih tiga puluh dua ribu dari uda penjual lele, kami berpindah tempat.

mama berbalik arah ke penjual ikan lainnya yang berada di sebelah barat pasar ini. lalu pindah dari satu penjual ke penjual lainnya. bertanya harga, mengeluhkan harganya, menawar harganya, ditolak si penjual, lalu pindah ke kios lain. ketika sedang menanyakan ikan yang harganya tujuh belas ribu lima ratus kepada salah satu penjual, datang seorang nenek membawa tas kantong di tangan kirinya dan meminta uang kepada mama. mama memberinya lalu pergi ke penjual ikan yang lain.

"mau beli apa, ma?" aku bingung sebenarnya apa yang hendak dibeli ibuku ini.
"ikan buat papa. ikan buat papa belum ada lagi." jawab mama. tidak, papa lebih suka gulai ikan daripada ikan lele goreng yang menjadi favorit anak-anaknya.

akhirnya mama berhenti di salah satu penjual ikan tuna yang sudah menjadi perhartianku sebelumnya. papa sering berhenti di kios ini dan mengomentari ikan tuna mereka yang besar lalu berakhir dengan transaksi jual beli. selain tuna, hari ini ada jenis ikan lain yang sedang dipotong-potong penjual ini.

"yang iko bara satangah? (yang ini harganya berapa untuk setengah kilo)?"
"limo baleh buk (lima belas ribu buk)"
"ikan a ko? (ini ikan apa?)"
"ikan salam"
"kalau ikan ko bara sakilo? (kalau ikan yang ini sekilonya berapa?)" tanya mama sambil menunjuk ikan yang lain.
" a yang iko dua puluah limo ribu buk (nah kalau yang ini dua puluh lima ribu buk)"

akhirnya mama membeli ikan salam yang lima belas ribu.

kemudian mama berputar arah lagi, menuju penjual santan yang ada di ujung belakang pasar tabing. penjualnya sedang melayani seorang ibu-ibu dan mama berdiri menunggu giliran. aku, berdiri di belakangnya memperhatikan seorang uda yang sedang membuat santan dengan alat khusus. alatnya besar, ditutupi oleh aluminium dan memisahkan ampas kelapa dan santannya. jam di belakang penjual itu menunjukkan pukul sebelas lewat 36 menit ketika ibu-ibu itu selesai dengan pesanannya. mama tampak terburu-buru menyebutkan pesanannya ketika ada ibu lain yang ingin membeli santan juga. mungkin takut keduluan. mama dan ibu-ibu itu sama-sama memesan santan seharga tiga ribu rupiah. dan selesai memasukkan santan ke dalam bungkus plastik, uda itu memberikan ibu-ibu itu santan terlebih dahulu. "eh, apa-apaan ini? mamaku sudah pesan duluan oi!" ujarku dalam hati. tapi ternyata kemudian uda itu memberikan pesanan mama. oh, udah dibikin juga ternyata. aku khilaf.
setelah berputar kesana-kemari sambil memintaku untuk memperhatikan sesuatu (saat itu aku kurang mendengarnya, aku terlalu sibuk dengan isi pikiranku), mama berhenti di salah satu kios sayuran. ada seorang ibu yang tampak sedang membeli rebung. rebung. lama aku berpikir. lalu aku tiba-tiba ingat rebung berasal dari tunas bambu yang masih muda. biasanya diolah menjadi gulai oleh orang minang. hmm, membayangkannya saja sudah membuatku lapar. lalu tiba-tiba..
"eh, nela.." sapa ibu itu kepada mama yang akan membayar tapai yang aku minta dibelikan.
"eh, xxx ma.." jujur aku lupa namanya siapa.
ternyata ibu itu teman sma mama. dan mama mengajaknya untuk acara berbuka puasa almamaternya. ibu itu tampak setuju walaupun dia sendiri mengatakan bahwa beliau belum dapat kabar tentang buka puasa ini. tentu saja, mama kan membicarakan ini di dalam grup bbm nya, kalau mama punya bbm ibu ini, tentu pembicaraannya merupakan topik lanjutan dari acara ini.


gue udah bikin cerita ini hampir setahun yang lalu, dan waktu gue pengen lanjutin cerita ini, gue lupa detail apa aja yang terjadi setelah nyokap gue beli rebung. ah parah, padahal gue pengen nyelesein cerita ini tapi mau gimana lagi.. ga jadi. gue bahkan heran kenapa gue bisa inget sedetail itu kejadiannya.. haha. oke daripada kesimpen di draft dan ga ada yang baca, mending gue post aja deh :D

Komentar

Postingan populer dari blog ini

A Story of Unsuccessful Romance: Chapter 1

 I Saw You Across The Classroom I would've never thought that the moment I saw him for the first time across our classroom was the moment that I would remember for the longest time. I was just a 14 year old kid who like pretty people with pretty eyes. Little did I know I would think over him over the years.. I got accepted to one of reputable public high school in my city, barely. My name was at the bottom of selection results, like, the last 5 people who got in to this school. Nevertheless, I was excited, of course. It was my dream to be a student here since it would help me path my way to go to reputable universities in the future. Back then, this school had two special programs, the acceleration program where you could study in high school for two years, and the international program- where you (were supposed to) learn all the subjects in English. I just finished my orientation and I was initially studying at grade X(ten) - 3. My mom, who is a high school teacher herself in anot

feelings and emotion

2023 is such a rollercoaster ride, while it was mostly screaming fun, I still had a few low moments. Especially now that I am not in Japan anymore. I tried to rationalize what I have been feeling by skimming through journal about re-entry/reverse culture shock. Quoting from Marquette University , re-entry is a common reaction to returning home from studying abroad. I felt sad, melancholic, and frustrated by how I should behave with my coworkers; wondering why I have been feeling down a lot for the past three months. Usually, I would just record video journal as a replacement for this blog/writing, however since it's already late at night and I need to get this out immediately without my sister listening what I am experiencing right now, I thought, "why not going back to my usual blog so I can process what to do or how to behave?" So here I am. After my birthday, which was a couple of days ago, I felt this sudden change of mood. I no longer desire to go on a hiking trip w

Senior Thesis Story - The Never Ending Regrets

This story was originally posted on my Tumblr. Had to set it to private because of, reasons. This, is a story of How I Die…. No, no. It’s actually one of the sad story of a senior student. How she became so careless about her university’s life. It all began when a young maiden called Nedayah decided to click a subject oh her academic report. The Senior Thesis. A six credit subject that leads most of seniors to success, or never ending failures. There are many tears and blood and sad and painful stories behind this. No matter what, when you decided to graduate university or college from this path, you have to go forward. You have got to decide what kind of problem you want to take for research, what kind of methods you want to use, and what are the reasons why you choose this problem. So one day, Nedayah had an idea. That she will take a research about: the formulation of a local regulation about buildings. Her minds wandered for so long, thinking about what city she would choose.