This has been such an amazing (and depressing year in my life). The main theme and the biggest thing that I concern is finishing my undergraduate school, and I am really glad I could finish it in this very year, 2014 (although I was late for like 1 semester, but I couldn't ask for more. I am eternally grateful, Yaa Allah). I had an amazing field research, too. I posted the photos on my instagram but I felt like this blog deserves more. So I compile them and share them here again. So here I go
Saya sedang berjalan-jalan ke arah Pulau Kelapa (yang sudah dihubungkan dengan jalan dari Pulau Harapan) waktu saya melihat 3 jenis kapal ini. Sebagai warga pulau (terutama pulau pemukiman di Kepulauan Seribu), alat transportasi utama yang digunakan adalah sepeda, motor, dan kapal atau perahu. How awesome it would be when people ask about your vehicle, and you'd say,"Oh, I'm building one. It will be done in just a few weeks (or months)".
Hari ke-3 di Pulau Harapan.
Pagi itu saya baru selesai sarapan ketika Ibu Munajah, satu-satunya staf paling cantik di Kantor STPN Wilayah II Pulau Harapan, memanggil saya ke depan. Saya teringat malamnya Pak Daeng mengajak saya dan Bu Mun untuk snorkeling di Pulau Opak (gratis. Hahaha). Namun malam itu angin bertiup cukup kencang sehingga saya yakin cuaca besok juga buruk, tetapi Pak Daeng dan Bu Mun meyakinkan saya itu hanya angin tenggara.
Baiklah, saya mengenal istilah baru. Angin tenggara, dan juga ada angin barat dan angin timur yang mengindikasikan jenis cuaca di laut, bahasa daratnya: musim hujan dan musim kemarau. Bukan hanya petani yang butuh musim hujan, tapi juga nelayan karena saat itu suhu air laut sejuk dan jumlah ikan untuk ditangkap lebih banyak (baca: ikan juga tidak suka panas). Perkiraan saya benar, pukul 05.30 hujan turun dengan derasnya dan hilanglah harapan saya untuk snorkeling (walaupun saya tidak terlalu suka, namun tawaran itu terlalu sayang untuk dilewatkan). Pukul 08.00 cuaca sudah cukup cerah namun saya takut kalau-kalau hujan turun kembali. Oh, iya. Jadi Bu Mun memanggil saya ke depan untuk ikut patroli (lagi) dengan Pak Daeng. Kali ini, Kepala Resort STPN Wil. II sekaligus kepala Polhut (?), Pak Rudy Madandan turut serta.
Ternyata ada sebuah kapal yang berhenti di dekat pulau. Kami menghampirinya dan Pak Daeng serta Pak Rudy menanyakan kelengkapan surat-surat izin mereka. Kapal yang terdiri dari kurang lebih 7 ABK ini berasal dari Rahas, Madura. Untuk menangkap ikan di kawasan TN Kep. Seribu mereka harus melapor ke kantor STPN terdekat untuk meminta izin menangkap ikan. Nelayan tersebut mengaku baru saja akan melapor.
Jadi, karena sebagian besar kawasan perairan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu termasuk ke dalam Taman Nasional Kepulauan Seribu, ada biota-biota laut yang dilarang untuk ditangkap. Selain memeriksa surat-surat, mereka juga memeriksa ke dalam kapal ini untuk memastikan tidak ada biota laut yang dilindungi yang ditangkap. Setelah memastikan tidak ada pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan-nelayan yang melaut lebih dari sebulan ini, Pak Daeng dan Pak Rudy menyudahi pemeriksaan. Namun, saat sedang bersiap-siap ke perahu, saya melihat para nelayan ini berbisik dan hendak memberikan uang kepada Pak Daeng/Pak Rudy. Hmm, jadi bukan hanya di darat ada tradisi ini. Tanpa diduga, Pak Rudy menyampaikan bahwa mereka tidak menerima hal-hal seperti itu. Pak Daeng menambahkan, kalau memang tidak ada yang dilanggar, tidak usah takut. Namun sepertinya para nelayan ini hanya ingin berterima kasih sehingga mereka memberikan 2 sotong segar hasil tangkapan mereka (asik makan enak. Hahaha) kepada kami.
Dengan begitu, hari ketiga saya di pulau Harapan saya mendapatkan lauk lain selain ikan (iya, ikan untuk sarapan-makan siang-makan malam).
Around this time about two weeks ago, I went to Harapan's quay and looked for a fisherman to be interviewed. Most fishermen at Kepulauan Seribu, an administrative regency in Jakarta, went fishing early in the morning and came back at 5 pm so I got little time to interview them. They went fishing on Mondays to Thursdays. They don't go fishing on Fridays because the majority of them are Muslims, and they do Jumat Prayer. On Saturdays and Sundays, they took the visitors from Jakarta snorkeling. And that's a short story of fishermen's routine from Harapan Island.
Kiri: Kapal yang sedang dibangun
Kanan: Kapal yang sudah hancur
Kanan atas: Kapal yang berfungsi
Saya sedang berjalan-jalan ke arah Pulau Kelapa (yang sudah dihubungkan dengan jalan dari Pulau Harapan) waktu saya melihat 3 jenis kapal ini. Sebagai warga pulau (terutama pulau pemukiman di Kepulauan Seribu), alat transportasi utama yang digunakan adalah sepeda, motor, dan kapal atau perahu. How awesome it would be when people ask about your vehicle, and you'd say,"Oh, I'm building one. It will be done in just a few weeks (or months)".
Matahari yang menyapa setiap inci kulit, angin laut, dan duduk paling depan. I owned this life... 2 dari 8 hari di Pulau Harapan saya ikut Pak Daeng, salah satu staf polisi hutan di Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu SPTN Wilayah II, patroli di sekitar Pulau. Nama yang tertulis di perahu ini adalah Tridagna Gigas, tapi Pak Daeng memanggilnya dengan sebutan "cabe-cabean" :))) Foto ini diambil pada hari pertama saya ikut patroli. Tidak ada yang ditangkap, karena memang tidak ada pelanggaran..
"Pemeriksaan"
Hari ke-3 di Pulau Harapan.
Pagi itu saya baru selesai sarapan ketika Ibu Munajah, satu-satunya staf paling cantik di Kantor STPN Wilayah II Pulau Harapan, memanggil saya ke depan. Saya teringat malamnya Pak Daeng mengajak saya dan Bu Mun untuk snorkeling di Pulau Opak (gratis. Hahaha). Namun malam itu angin bertiup cukup kencang sehingga saya yakin cuaca besok juga buruk, tetapi Pak Daeng dan Bu Mun meyakinkan saya itu hanya angin tenggara.
Baiklah, saya mengenal istilah baru. Angin tenggara, dan juga ada angin barat dan angin timur yang mengindikasikan jenis cuaca di laut, bahasa daratnya: musim hujan dan musim kemarau. Bukan hanya petani yang butuh musim hujan, tapi juga nelayan karena saat itu suhu air laut sejuk dan jumlah ikan untuk ditangkap lebih banyak (baca: ikan juga tidak suka panas). Perkiraan saya benar, pukul 05.30 hujan turun dengan derasnya dan hilanglah harapan saya untuk snorkeling (walaupun saya tidak terlalu suka, namun tawaran itu terlalu sayang untuk dilewatkan). Pukul 08.00 cuaca sudah cukup cerah namun saya takut kalau-kalau hujan turun kembali. Oh, iya. Jadi Bu Mun memanggil saya ke depan untuk ikut patroli (lagi) dengan Pak Daeng. Kali ini, Kepala Resort STPN Wil. II sekaligus kepala Polhut (?), Pak Rudy Madandan turut serta.
Ternyata ada sebuah kapal yang berhenti di dekat pulau. Kami menghampirinya dan Pak Daeng serta Pak Rudy menanyakan kelengkapan surat-surat izin mereka. Kapal yang terdiri dari kurang lebih 7 ABK ini berasal dari Rahas, Madura. Untuk menangkap ikan di kawasan TN Kep. Seribu mereka harus melapor ke kantor STPN terdekat untuk meminta izin menangkap ikan. Nelayan tersebut mengaku baru saja akan melapor.
Pak Daeng dan Pak Rudy mendokumentasikan kelengkapan surat.
Jadi, karena sebagian besar kawasan perairan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu termasuk ke dalam Taman Nasional Kepulauan Seribu, ada biota-biota laut yang dilarang untuk ditangkap. Selain memeriksa surat-surat, mereka juga memeriksa ke dalam kapal ini untuk memastikan tidak ada biota laut yang dilindungi yang ditangkap. Setelah memastikan tidak ada pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan-nelayan yang melaut lebih dari sebulan ini, Pak Daeng dan Pak Rudy menyudahi pemeriksaan. Namun, saat sedang bersiap-siap ke perahu, saya melihat para nelayan ini berbisik dan hendak memberikan uang kepada Pak Daeng/Pak Rudy. Hmm, jadi bukan hanya di darat ada tradisi ini. Tanpa diduga, Pak Rudy menyampaikan bahwa mereka tidak menerima hal-hal seperti itu. Pak Daeng menambahkan, kalau memang tidak ada yang dilanggar, tidak usah takut. Namun sepertinya para nelayan ini hanya ingin berterima kasih sehingga mereka memberikan 2 sotong segar hasil tangkapan mereka (asik makan enak. Hahaha) kepada kami.
Dengan begitu, hari ketiga saya di pulau Harapan saya mendapatkan lauk lain selain ikan (iya, ikan untuk sarapan-makan siang-makan malam).
A man is cleaning his boat, Harapan Island's Quay (couldn't take a better picture, sorry)
Around this time about two weeks ago, I went to Harapan's quay and looked for a fisherman to be interviewed. Most fishermen at Kepulauan Seribu, an administrative regency in Jakarta, went fishing early in the morning and came back at 5 pm so I got little time to interview them. They went fishing on Mondays to Thursdays. They don't go fishing on Fridays because the majority of them are Muslims, and they do Jumat Prayer. On Saturdays and Sundays, they took the visitors from Jakarta snorkeling. And that's a short story of fishermen's routine from Harapan Island.
Komentar
Posting Komentar