Langsung ke konten utama

selamat jalan. dari kami, yang masih menginjak bumi

Setelah beberapa hari emosional yang udah gue lalui selama ini, gue memilih hari ini buat nulis lagi di sini. Alasannya.. karena berita duka yang baru aja gue denger dari temen deket gue, dan kabar dari media sosial, Twitter. Keponakan yang meninggal karena kecelakaan, dan seorang teman lama yang meninggal karena sakit (sepertinya demam berdarah). Kecelakaan motor yang dialami keponakan dan adek temen gue ini, kejadiannya jam 5 sore di Padang. Dia meninggal karena pendarahan. Kalau menurut logika gue, dia kehilangan banyak darah, sehingga jantungnya tidak bisa menyuplai darah ke seluruh tubuh untuk mengantarkan oksigen dan tugas-tugas biologis dalam tubuh lainnya. Jantungnya gagal menjalankan fungsinya, dan berhenti berdetak. (oke, ngasal). Apapun itu, kehilangan banyak darah bisa menyebabkan makhluk hidup (dengan darah sebagai pengantar oksigen), meninggal. Sedangkan yang gue tau tentang DBD, jumlah trombosit penderitanya jadi turun (gue lupa kenapa bisa begitu). Makanya penderita DBD juga perlu transfusi darah, supaya bisa menaikkan jumlah trombositnya ke angka normal, dan menyelamatkan penderitanya. Tapi sepertinya, teman lama gue ga bisa mempertahankannya. Dan sebagaimana manusia lainnya yang mengalami DBD stadium akhir dan tidak bisa diselamatkan, detak jantungnya akan berhenti, dan raganya ditinggalkan sukma yang kembali ke penciptaNya.Semua itu lumrah, proses biologis yang memiliki siklus dan bukan hal yang aneh untuk makhluk hidup.

Tapi...

Makhluk hidup, terutama manusia, selama ini hidup berdampingan. Berbagi cerita, suka dan duka, berbagi perasaan, bahagia dan sedih, menjalin kisah, manis dan pahit. Semua terakumulasi dan tersimpan di dalam memori, di suatu tempat di dalam otak besar. Memori itu tersimpan dan tersusun dengan rapi, mengenali pemilik kisahnya, suara dan wajahnya. Melalui saraf-saraf cerebrum dan terkoneksi dengan kisah-kisah emosional lainnya. Memori itu memiliki kotak khusus sendiri, dan isinya tidak akan keluar, kecuali sang pemilik memori mengingatnya kembali, ketika ada pembicaraan dengan manusia lainnya, atau ketika objek dari memori itu menghilang, meninggal...

Ketika seseorang meninggal, entah kenapa semua kenangan itu keluar darin kotaknya, memaksa sang pemilik memori untuk memilih perasaan apa yang hendak dia pilih ketika memori itu menghambur keluar, ketika sang objek telah tiada. Sejauh ini, perasaan yang paling sering dipilih oleh pemilik memori, adalah sedih, atau simpati. Sedih, karena orang yang biasanya dikenal, saat cahaya menyentuh raganya ditangkap oleh indra penglihat, tidak ada lagi untuk menjadi bagian dari hidup sang pemilik memori. Seperti  dahan pohon yang patah, pohon itu tetap ada, tetapi ada bagian yang hilang, dan terasa aneh, asing. Sampai sang pemilik memori terbiasa dengan kehilangan itu. Simpati, membayangkan bila kehilangan itu dialami sendiri. Sebatas kepedulian. Berharap hal itu tidak akan terjadi, atau bila memang harus terjadi, jauh-jauh hari saja.

Dan sejauh ini, kesedihan karena kehilangan paling sulit dikendalikan. Berbagai respons diberikan cerebrum untuk mengekspresikan kesedihan sang pemilik memori. Dan selama ini, tangisan menjadi emosi yang sering dikeluarkan ketika kata-kata, bahasa tubuh, tidak cukup untuk mengungkapkan betapa besarnya kesedihan yang disebabkan oleh satu kehilangan. Hanya dengan memori-memori itu, hanya dengan semua kenangan dan ketakutan ketika seseorang harus kembali kemana dia berasal, meniggalkan orang-orang di sekitarnya, yang menjadi bagian dari sistem sosial kehidupannya, rongga air mata akan terus terdesak dan tertekan sehingga air mata keluar, dan akan sulit berhenti, tergantung seberapa besar ikatan yang telah dijalin antara orang yang ditinggalkan, dan orang yang meninggalkan..

Kematian itu biasa. Itu cuma bagian dari siklus kehidupan. Bagian dari sistem kehidupan yang sangat besar ini. Tetapi tidak setiap hari, semua orang mengalaminya..  Butuh usaha keras untuk ikhlas. Mengikhlaskan mereka yang "kembali" lebih awal, karena masih ada banyak cerita, banyak urusan, banyak janji yang belum selesai. Tapi, bagi sang Pemilik semua sistem ini, cerita itu sudah usai. Manusia lain hanya perlu penyesuaian dan mengubah sedikit cerita untuk menjalani hidupnya. Kita memang kecil di sistem sebesar ini. Tapi jika butuh kekuatan dari orang yang meninggalkan pemilik memori lebih awal, maka mereka akan selalu ada di hati dan pikiran. Mereka hidup sebagai memori. Kita bisa memilih semua percakapan, cerita, dan bagian menyenangkan dengan mereka, untuk bertahan hidup dan menjadi lebih kuat. Bertahanlah. Karena perpisahan juga merupakan awal cerita, seperti halnya pertemuan.

Untuk mereka yang kembali lebih awal, selamat jalan. dan terima kasih telah menjadi bagian dari cerita hidup kami, yang masih menapakkan kaki di bumi...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

A Story of Unsuccessful Romance: Chapter 1

 I Saw You Across The Classroom I would've never thought that the moment I saw him for the first time across our classroom was the moment that I would remember for the longest time. I was just a 14 year old kid who like pretty people with pretty eyes. Little did I know I would think over him over the years.. I got accepted to one of reputable public high school in my city, barely. My name was at the bottom of selection results, like, the last 5 people who got in to this school. Nevertheless, I was excited, of course. It was my dream to be a student here since it would help me path my way to go to reputable universities in the future. Back then, this school had two special programs, the acceleration program where you could study in high school for two years, and the international program - where you (were supposed to) learn all the subjects in English. I just finished my orientation and I was initially studying at grade X (ten) - 3. My mom, who was a high school teacher herself in a...

amazing weekend

I went to Kota Tua and Monas last Friday with my housemates. I actually doubted that I could go there considering that I still had remaining undone tasks that had to be done. but since I've had the busiest week ever in May (meetings, assignments..), I decided to leave it and grab the rarest chance ever, spending time with my housemates, since we have this unmatched schedule. so we went to Kota Tua and we took a lot (trust me, A LOT) of photos with Laura's camera ;) and when the twilight touched this part of Indonesia, we set our feet to trans jakarta shelter and headed to Monas. even when hadn't touch the front gate of Monas, we already took so many pictures! hahaha you can imagine when a bunch of girls holding a camera.. we just can't hold the passion of taking pictures.. lol when we finally went back to our house, I immediately took a bath, and reached my bed to sleep because I was extremely exhausted, but happy! :D the next day, on Saturday morning, my friend asked...

Day 26 (?) - Self Quarantine

I don't know about myself anymore. I hate myself. I loathe my sister, her high voice. I hate how I become easily angry at things. I hate everything. My colleagues from work finally asked me why I am not on Twitter anymore. Oh I still am. I'm just using a different account and signed out from my main account. I hate seeing my friends there, or I just hate that I keep pouring my minds out there that I felt insecure about them reading too much of my mind. Or I just hate how intense the discussion about how Indonesian Government handle the pandemic. I don't know. I just grow distant because I am not having a real interaction there. I hate chatting on app. I really don't like every single thing. And stuck with my sister? Oh God. Can I just die already? Like instant die. Instantly vanished. My existence doesn't matter anymore I need a break from being just a pain in the ass from anyone. I hate myself so much and this is not even from my PMS talking. My period end...